Senin, 16 November 2009
Bank Syariah dan Naiknya Pembiayaan Bermasalah
Secara umum, perkembangan bank syariah maupun unit usaha syariah bergerak
positif.
Industri perbankan syariah berkembang cukup signifikan dalam beberapa tahun
terakhir. Industri tersebut terdiri sebanyak tiga bank umum syariah (BUS)
dan sembilan belas unit usaha syariah (UUS).
Ketiga BUS adalah Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank Mumalat Indonesia (BMI),
dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI). Untuk UUS adalah Bank BNI Syariah,
Bank Permata Syariah, Bank DKI Syariah, dan Bank BRI Syariah.
Berdasarkan data publikasi BI yang dirilis Februari ini, aset perbankan
syariah akhir tahun lalu meningkat cukup signifikan. Hingga Desember 2006,
aset mereka tercatat meningkat 28,53 persen menjadi Rp 26,72 triliun
dibandingkan periode serupa 2005, Rp 20,789 triliun.
Sementara, bila dibandingkan dengan periode sebulan sebelumnya, aset
perbankan syariah per Desember 2006 tercatat tumbuh 49,52 persen. Aset
perbankan syariah saat itu tercatat sebesat Rp 25,488 triliun.
Meski terdapat 22 pemain dalam industri perbankan syariah, portofolio
industri ternyata didominasi tiga BUS. Mereka mendominasi pangsa pasar
perbankan syariah sekitar lebih dari 70 persen.
Bahkan, beberapa pakar ekonomi syariah seringkali berpendapat berkembang
atau tidaknya perbankan syariah ditunjukkan dengan jalannya bisnis ketiga
BUS. Karena itu, pengkajian atas kinerja bisnis ketiganya menjadi bahasan
cukup menarik bagi berbagai pihak untuk mengetahui perkembangan industri
perbankan syariah lebih mendalam.
Berdasarkan pengkajian lembaga konsultan perbankan syariah, Karim Business
Consulting (KBC), masing-masing BUS memiliki kelebihan berbeda dalam
industri perbankan syariah. Hal tersebut berdasarkan pengkajian atas laporan
keuangan ketiga BUS per akhir tahun lalu (unaudited).
Menurut Direktur Utama KBC, Adiwarman Azwar Karim, dalam beberapa tahun
terakhir, BSM senantiasa menjadi BUS dengan aset terbesar dibandingkan dua
BUS lainnya. Pada Desember 2006, aset BSM tercatat sebesar Rp 9,612 triliun,
sedangkan aset BMI dan BSMI tercatat masing-masing tercatat Rp 8,457 triliun
dan Rp 2,352 triliun.
Selain itu, menurut Adiwarman, BSM juga merupakan BUS dengan ekspansi biaya
jaringan dan pembiayaan terbesar. Hal tersebut terlihat dari pembukaan
banyak kantor cabang dan cabang pembantu BSM dalam dua tahun terakhir. BMI
lebih memilih untuk beraliansi dengan PT Pos untuk memasarkan produk
perbankan syariahnya. Sementara, BSMI tidak banyak melakukan ekspansi
pelebaran jaringan dalam dua tahun terakhir.
Di sisi perolehan laba, menurut Adiwarman, posisi pertama diraih oleh BMI
dengan pembukaan laba per Desember 2006 (unaudited) sebesar Rp 193,773
miliar. Sedangkan, posisi kedua dan ketiga diraih BSM dan BSMI dengan jumlah
perolehan laba masing-masing sebesar Rp 62,562 miliar dan Rp 54,801 miliar.
Di sisi pertumbuhan bisnis baru, Adiwarman menyebutkan BSMI merupakan BUS
dengan pertumbuhan bisnis baru paling tinggi dibandingkan kedua BUS lainnya.
Hal tersebut terlihat dari persentase lonjakan aset BUS tersebut sebesar
164,3 persen menjadi Rp 2,352 triliun per Desember 2006 dari Rp 889,91
miliar per Desember 2006. Lonjakan tersebut dipicu besarnya persentase
lonjakan DPK dan pembiayaan BUS tersebut sebesar 162,55 persen dan 303,33
persen. DPK dan pembiayaan BSMI per Desember 2006 tercatat sebesar Rp 2,158
triliun dan Rp 2,110 triliun.
Dari sisi efisiensi biaya, Adiwarman menyebutkan BSMI ternyata membuktikan
dirinya sebagai BUS terefisien tahun lalu dibandingkan kedua BUS lainnya.
Padahal, pada 2005 lalu, BSMI merupakan BUS paling tidak efisien.
''Yang juga cukup mengejutkan adalah ternyata BSMI menjadi bank umum syariah
paling efisien dengan BOPO (Biaya Operasional dibandingkan Pendapatan
Operasional) terendah. Padahal, tahun sebelumnya, BOPO-nya terbesar,''
katanya.
Direktur Utama BSMI, Budi Wisakseno, membenarkan tingginya pertumbuhan
bisnis baru BSMI. Hal tersebut karena BSMI menerapkan srategi pembiayaan
segmentasi khusus, yakni pembiayaan sepeda motor. Menurut dia, karena
segmentasi tersebut, bisnis BSMI dapat berkembang dengan pesat. ''Saya kira
hingga kini cerukan bisnis ini cukup menjanjikan bagi pengembangan syariah
kami,'' katanya.
Mengenai BUS terefisien, Budi menyebutkan sebetulnya pola pengeluaran biaya
operasional 2005 dan 2006 tidak jauh berbeda. Menurunnya persentase BOPO,
kata dia, lebih disebabkan meningkatnya pendapatan operasional dengan beban
operasional sama.
''Jadi, itu karena pendapatan kita meningkat cukup signifikan. Sementara,
beban operasional relatif sama karena itu rasio BOPO menurun,'' katanya.
Meningkatnya NPF
Adiwarman menyebutkan, rasio pembiayaan bermasalah (Non Performing
Financing--NPF) ketiga BUS menunjukkan peningkatan. Hingga Desember 2006
lalu, NPF BSM mengalami peningkatan menjadi 4,64 persen dari 2,68 persen.
NPF BMI naik menjadi 2,84 persen per Desember 2006 dari 2,00 persen serta
NPF BSMI tercatat meningkat menjadi 1,32 persen per Desember 2006 dari 0,56
persen per Desember 2005.
Menurut Adiwarman, meningkatnya NPF ketiga BUS dinilai cukup wajar.
Alasannya, peningkatan NPF disebabkan meningkatnya jumlah pembiayaan
disalurkan bagi masyarakat oleh ketiga bank syariah. Terlebih, NPF ketiga
bank masih berada di bawah level 5 persen berdasarkan ukuran BI.
Menurut Direktur Utama BSM, Yuslam Fauzi, posisi BSM sebagai BUS beraset
terbesar terjadi karena memang bank syariah tersebut ingin terus tumbuh
berkembang. Dengan demikian, semakin banyak masyarakat yang dapat mengakses
layanan perbankan syariah. Meskipun Yuslam menyebutkan, yang terpenting bagi
BSM pada tahun ini sebetulnya bukan pencapaian target pertumbuhan. Namun,
BSM berupaya meningkatkan dan menjaga kualitas penghimpunan dana pihak
ketiga (DPK) dan penyaluran pembiayaan.
Mengenai meningkatnya rasio NPF tahun lalu, Yuslam menyebutkan hal tersebut
disebabkan penurunan kualitas aktiva produktif. Hal tersebut juga dinilai
cukup wajar sejalan dengan meningkatnya ekpansi bisnis bank syariah
tersebut.
Untuk menanganinya, BSM akan menerapkan dua strategi penanganan. Pertama,
dengan meningkatkan ekspansi pembiayaan sehingga secara otomatis rasio NPF
akan turun dan kedua menerapkan program restrukturisasi.
Menurut Direktur Utama Bank Muamalat, Ahmad Riawan Amin, besarnya laba dan
cukup efisiennya bisnis Bank Muamalat disebabkan beberapa faktor. Salah
satunya terkait dengan penerapan prinsip 4 P dalam kegiatan bisnis syariah
Bank Muamalat. Mereka adalah prudent (kehati-hatian), profit (laba), purpose
(misi), dan pertumbuhan.
Mengenai meningkatnya rasio pembiayaan bermasalah Bank Muamalat, Riawan
menyebutkan peningkatan tersebut masih dalam batas kewajaran. Pasalnya, Bank
Indonesia (BI) menetapkan batas wajar hingga 5 persen. Jika NPF berada di
atas itu, maka bank tersebut berada dalam pengawasan BI.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ada datanya nggak ya tentang bentuk pembiayaan yang paling banyak di terapkan oleh bus, apakah mudharabah atau murabahah, kalau ada berapa perbandingannya?
BalasHapusIni terkait dengan keberpihakan bus terhadap masyarakat dan keidealan perlakuan bus terhadap para nasabah dan masyarakat...