Rabu, 11 November 2009

Menerapkan Manajemen Risiko


Keharusan Menerapkan Manajemen Risiko



Harus diakui bahwa, sesungguhnya, industri perbankan adalah suatu industri yang sarat dengan risiko, terutama karena melibatkan pengelolaan uang masyarakat dan diputar dalam bentuk berbagai investasi, seperti pemberian kredit, pembelian surat-surat berharga dan penanaman dana lainnya.

Dengan begitu, dapat dikatakan, bahwa semua kegiatan bank, baik yang berasal dari aktiva maupun pasiva mengandung berbagai jenis risiko, baik itu risiko pasar, risiko kredit, risiko likuiditas maupun risiko-risiko lainnya. Besar kecilnya risiko itu akan sangat tergantung pada berbagai factor yang terkait, misalnya kemampuan dan kejelian manajemen dalam mengelola hal itu.

Karenanya, untuk meminimalisir risiko-risiko yang dihadapi, maka manajemen bank harus memiliki keahlian dan kompetensi yang memadai, sehingga berbagai risiko yang berpotensi muncul dapat diantisipasi dari awal, dan dicari cara penangananya secara lebih baik. Diharapkan, risiko yang muncul akan dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga potensi kerugian yang akan diderita dapat ditekan seminimal mungkin.

Keamanan Online

Belakangan ini, terutama dengan semakin meningkatnya berbagai transaksi perbankan yang didukung teknologi informasi (TI), baik berupa ATM, Internet banking, SMS banking, Online banking dan sejenisnya, maka semakin meningkat pula tingkat kebutuhan nasabah untuk mendapatkan tingkat keamanan yang lebih baik. Peningkatan kebutuhan itu, pada saat yang sama, semakin menuntut kalangan perbankan untuk meningkatkan sistem keamanan transaksi mereka.

Masalah risiko atau tingkat keamanan di bank, memang tak hanya yang terkait langsung dengan kanal-kanal pelayanan yang dimiliki bank, yang langsung digunakan untuk melakukan transaksi oleh nasabah, seperti penggunaan ATM, misalnya. Melainkan, sesungguhnya, risiko yang lebih besar justru dapat muncul dari berbagai kemungkinan lainnya, yang tak jarang tak terkait secara langsung dengan TI, melainkan dengan manajemen.

Keamanan online juga terkait dengan kepastian bahwa seseorang yang log-on ke situs web atau yang menggunakan kartu kredit atau kartu debit memang “benar” orang yang berhak untuk itu. Bank-bank, saat ini, mulai mempertimbangkan sejumlah metoda untuk mengatasi masalah tersebut, yang sebagian besar dengan menggunakan berbagai perangkat, tak cukup hanya piranti lunak, misalnya untuk menciptakan kode-kode guna memastikan transaksi online .

Good Governance & Basel II

Di sisi lain, penerapan standar Basel II, juga ditujukan untuk semakin meminimalkan risiko-risiko, misalnya karena bank didukung oleh sistem pendataan dan data nasabah yang akurat dan tidak terduplikasi. Dengan dimilikinya data nasabah yang akurat dan tunggal untuk masing-masing nasabah, maka kemungkinan untuk terjadinya penyalahgunaan identitas nasabah dapat diminimalkan.

Sekalipun membutuhkan banyak waktu dan dana, inisiatif pembersihan data, sehingga memenuhi standar yang dituntut, tetapi bank dapat memperlihatkan kontrol yang lebih baik dan mengurangi biaya kampanye pemasarannya, mampu melakukan cross-selling dan up-selling kepada para nasabah, memperbaiki efisiensi rantai pasok dan mengurangi risiko, terutama karena mampu membuat forecasting yang lebih baik.

Di lingkungan perbankan, penerapan Basel II ini juga tampaknya menjadi salah satu pemicu besarnya belanja TI yang harus dikeluarkan. Hal ini jelas didorong oleh adanya regulasi Bank Indonesia mengenai penerapan regulasi Basel II, yang antara lain mencakup risk management yang cukup kompleks. Pemenuhan Basel II ini diharapkan akan membuat kalangan perbankan mampu meningkatkan pengelolaan banknya dengan kemampuan menangani risiko secara lebih baik.

Menurut Jos Luhukay, President Director, LippoBank, pemenuhan persyaratan Basel II oleh setiap bank akan mampu memperbaiki sistem TI dan kehandalan pengelolaan risiko mereka. Dan, itu semua tentu saja membutuhkan biaya yang tidak kecil. Jos memperkirakan setiap bank setidaknya akan membelanjakan sekitar US$5-15 juta atau kurang lebih Rp 45-135 miliar. Belum lagi, besarnya perhatian dan tersedotnya waktu serta SDM, khususnya untuk menangani penerapan Basel II tersebut.

Di sisi lain, seperti dinyatakan oleh Gubernur BI, Burhanuddin Abdulah, bahwa kerangka kerja Basel II sangat terkait dengan rencana Arsitektur Perbankan Indonesia (API), dimana penerapan Basel II akan memberi manfaat yang sangat besar, yaitu meningkatkan pengawasan risiko ( good government risk based supervision ) dan disiplin pasar ( market discipline ) dan juga lebih memperkuat ketahanan, serta stabilitas sistem perbankan nasional.

Manajemen Risiko

Diakui, bahwa meskipun pengelolaan manajemen risiko perusahaan-perusahaan di Indonesia , boleh dikata, masih rendah, namun tingkat kesadaran manajemen risiko yang paling maju ada di sektor perbankan. Kalau dilihat dari tingkat risiko, bank-bank yang dimiliki publik (go public), tidak berarti lebih rendah dari bank-bank yang tidak dimiliki publik. Sekali pun, bank-bank yang terdaftar di bursa itu diawasi oleh dua regulator, yakni Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal, namun risikonya juga cukup besar.

Setidaknya ada tiga hal penting dalam hal manajemen risiko bank, yang seharusnya menjadi perhatian kalangan pengelola dan pemilik bank, yakni prosedur yang lengkap, kontrol internal, dan faktor sumber daya manusianya. Risiko terbesar ada di sektor kredit, baru kemudian risiko pasar dan operasional.

Namun, tingkat keamanan yang lain, yang menuntut perlunya dukungan sistem keamanan lebih pada risiko transaksi, dan bukannya keputusan manajemen seperti terlihat pada pemberian kredit yang tidak memenuhi syarat, misalnya. Risiko transaksi nasabah, lebih dilihat bagaimana kegiatan itu didukung oleh sistem keamanan yang cukup agar tidak terjadi fraud, dan hal itu lebih difasilitasi oleh sistem keamanan, baik hardware maupun software .

Karenanya, tak heran, kalau terhadap manajemen risiko ini, BI terlihat cukup keras untuk ”memaksakan” agar bank-bank segera menerapkannya. Penerapan manajemen risiko yang dimaksud dengan memasukkan perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Untuk itu, per 1 Januari 2005 lalu, Bank Indonesia menerapkan peraturan baru, dimana bank yang belum melaksanakannya sesuai batas waktu yang ditentukan, akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 1 juta per hari dan pembatasan kegiatan usaha bank bersangkutan, misalnya pelarangan pembukaan cabang baru.

Menurut Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Nelson Tampubolon, untuk tahap awal memang baru ada 34 bank yang akan menerapkan manajemen risiko dengan memperhitungkan ATMR.

asil penerapan ketentuan baru terhadap 34 bank ini, nantinya akan dijadikan dasar bagi kajian lebih lanjut untuk dimasukkannya risiko pasar dalam perhitungan ATMR bagi seluruh bank. Insa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar